Mimpi yang basah oleh pagii mengembun
Menangkap mentari yang berkilau didaun
Mentari tersembul dari balik awan
Tersipu malu hendak beri senyum menawan
Langit biru diselimuti awan putih indah
Selalu terasa lebih luas dari ruang sempit harapan
Hingga langkah lebih ringan dari helai awan
Pertanda hati hati tak lagi gundah
Rekah indah berkelopak mawar merimbunkan harum
Menuai jinjit semangat
Meniupkan sepoi asa
Yang sempat bersarang dijaring malam
Mimpi selalu saja pagii
Meskipun hati merangkak gelap
Malam yang beranjak pergi disambut pagii
Dan kita takkan pernah senja
Untuk sekedar mengapai mimpi
Bersama sahabat usia kita takkan beranjak
Tetap hangat meski berembun
Tetap kuat meski harus meranggas
Dan tetap bertahan walau rapuh dimakan rayap
Dan sejatinya rayap itu mengajarkan arti tersayat
namun akan tetap erat dalam kassa persahabatan terbalut
Sesaat terdiam terbayang oleh mimpi
Dan terbangun
Dan kita masih tetap berjabat
Rumah Pohon
1 April 2012
10.00 wib
Bait ini terangkai bersama 2 sahabat saya yaitu dewieq oktalupik dan Nurina utami
Terima kasih untuk pelukan jauh selama ini
Belajar Menguntai Kata Bersama Desah Alam Yang Selalu Bergutasi dibawah rindanganya Akasia.
Sabtu, 31 Maret 2012
Rabu, 28 Maret 2012
Arum Manis
Rasanya sudah lama sekali tidak mengulum arum manis
Meski yang aku tau ia sangat tidak bersahabat dengan badanku
Ketahanan tubuhku tak mampu untuk menerimanya masuk
Bahkan ketika memasuki tengorokanku sudah terasa erik
Namun aku selalu menyukainya
Warnanya yang merah muda pucat saat ini sepucat hatiku
Manisnya yang keterlaluan mungkin dapat mengobati pahit dihati
Bahkan mulutku pun sekarang berasa pahit
Aku ingin makan arum manis
Dan tak tau harus melangkah kemana ????
Bapak penjual arum manis jarang sekali berjualan diterik hari
Sementara aku sepertinya tak bisa berkompromi
Aku sangat ingin makan arum manis
Agar mataku tak lagi berembun
Agar mulutku mampu untuk mengurai senyum
Agar hatiku tak lagi menghitam
meski setelahnya akan tersakiti jua
Lembut mengapas
Pucat memias
Mengais manis
Diatas tangis
Ah sungguh aku ingin makan arum manis
Adakah yang mau memberiku sebuah ???
Rumah Pohon,
29 Maret 2012
11.31 Wib
Kepada Dia Yang Tak Bernama
Kepada : Dia yang Tak Bernama
Tabik,
Sengaja kutulis sebuah surat untukmu
Karena berbicarapun tak mungkin dilakukan
Maka biarkan saja kata-kata ini keluar dengan sendirinya
Mungkin akan lebih baik daripada ia menjadi batu
bulan ketiga yang singkat
bulan kedua yang padat
bulan pertama yang giat
Januari yang Istimewa
Februari yang Mempesona
Maret yang menghilang
Jinjit langkahku menghitung hari
Detik yang berlalu seakan gemulai
Ia terlalu lembut untuk dipercepat
Hingga penantian tak terasa menyekat
Masih tersisa disini sebuah lara
Untuk semua ucap yang berseru
Masih tersisa sebuah duka
Untuk semua janji yang meyakiti
Dan biarkan saja luka itu mengangga kembali
Sudah kuselesaikan dengan baik kalimatku
Yang berantakan diantara tetesan hujan
Salam,
Rumah Pohon,
29 Maret 2012
11.00 Wib
PELATARANKU KINI
Kembali menyusuri pelataran kosong
Tanpa siapapun hanya aku sendiri
Pekat gelap tersekat oleh lekatmu
Cekat-mencekat dalam ketakutan
Aku benar-benar tersadar dari mimpi
Mimpi yang membuatku tertidur hampir 3 bulan lamanya
Menanami pelataran dengan asoka
Menyiraminya dengan air sungai
Hingga membentuk taman indah
Kanal ditepiannya pun menjadi penuh dengan cerita indah
Seakan tak pernah terkuras habis
Tapi tak pernah sampai meluap-luap ke tepian
Seperti itulah mungkin cerita ini bermula
Tapi hari ini yang kulihat ternyata pelataranku masih kosong
Ia gersang, tandus, kering dan berserakan daun kering
Ah aku terlalu lama bermimpi
Aku terlalu lama melihat fatamorgana
Setelah laut menenggah dengan meninggalkan buihnya
Manyar mengepakkan sayap dengan meninggalkan sarangnya
Pangeran mengerakan kaki kudanya dengan meninggalkan buku dongeng
Pelangi tak lagi lengkung dengan meninggalkan warna hitam
sekarang Tamanku benar-benar rusak
Aku bahkan tak punya sebutan untuknya
Dia yang datang bahkan tak bernama karena aku tak ingin ia pergi
Tapi aku salah ....
Bernama atau tidak bernama jika masanya tiba untuk lalu maka ia akan lalu
Lalu seperti angin , pergi begitu saja
Dan aku masih saja tertegun duduk dipelataranku
Pelataran yang kusayangi
Pelataran yang ingin kubentuk taman kecil
Sungguh saat ini aku sedang ingin duduk dipelataran ini
Diam saja
Menanti senja yang tak pernah mengecewakanku
Tidak sekalipun laut menjauh, manyar beranjak, pangeran mengilang dan pelangi
menjadi tegak
Aku masih ingin diam dipelataranku ini
Aku masih ingin memandangi yang datang dan pergi
Dimana masih meninggalkan aromanya disini
Masih sangat tercium aromanya
Masih sangat menusuk kepalaku
Masih ... Masih dan masih
Rumah Pohon
29 Maret 2012
10.00 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)